Wahai Allah, aku sedang jatuh cinta. Wahai Allah, tuntunlah
rasa cintaku kepada keridhaan-Mu , agar terhindar dari perzinaan. Wahai Allah,
damaikan hati ini dengan ketentuan cinta-Mu, agar tak terbisik oleh nafsu yang
menghantarkan kepada lembah yang berdosa. Wahai Allah bawalah cerita cintaku
kepada berkah-Mu, agar kami tak tersesat dalam berarah. Wahai Allah, jadikan
cintaku agar lebih indah bermesraan dengan-Mu di seprtiga malamku, di kala
butiran-butiran airmata menghantarkan Rindu kepada cinta semata karena-Mu.
Setiap insan, fitrahnya di
anugerahkan rasa cinta, rasa cinta kepada harta, wanita dan perhiasan dunia
lainya. Fitrah cinta akan INDAH bilamana kita pandai membawanya kepada tuntunan
ALLAH SWT.
Fitrah cinta akan Berkah bilamana
kita pandai menghiasnya dengan ridha Allah Swt.
Cinta itu kisah yang indah. Ali,
pemuda yang menaruh rasa cintanya kepada Fatimah putri Rosul.Cinta Ali kepada
Fatimah begitu indah dan terjaga. Cintanya tersembunyi dalam hati yang di balut
dengan perasaan yang terjaga hati yang suci, sampai-sampai setanpun tak tahu
tentang perasaan Ali yang menaruh rasa cinta kepada Fatimah.Pun juga sebaliknya
dengan Fatimah yang menaruh perasaan cinta kepada Ali.
Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorabanan.
Bagai mana Ali merasa tersentak
ketika mendengar Abu Baqr Radiallahu'anhu seorang yang keimanannya tak lagi di
ragukan, yang kedermaannya sungguh sangat luar biasa, yang pembelaannya
terhadap islam tak lagi tertandingi, yang keilmuannya tak lagi di ragukan, yang
kecintaannya kepada Rosul melebihi dirinya sendiri, yang turut berjuang membela
Rosul paling utama, tiba-tiba melamar Fatimah putri Rosul. "Allah
mengujiku rupanya", batin Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah
ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan
pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu
Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa
banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash,
Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti
‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para
faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar
sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali
hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”,
gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas
diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali
terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum
berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki
lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat
kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
Ialah
Umar Ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu
juga datang melamar Fathimah.
Walaupun Umar masuk islam 3 tahun
belakangan, tapi siapa yang menyangsikan kecerdasannya mengejar pemahaman,
siapa yang menyangsikan pembelaannya yang luar biasa terhadap Rosul yang berani
terang-terangan kepada siapa saja yang menentang kehendaknya maka akan di
kisahkannya tentang keluarga mereka yang akan menangis karena kepalanya
terpenggal, karena berani menentang Umar.
Betapa
tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu
macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah
yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn
Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu
Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya
‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba
kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa
engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang
bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka
dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”,
begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin
bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu
meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan
atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak
sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya
dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa
Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu
saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan
juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan
ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan
keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak
heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda
kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta
dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang
pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan
ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata
kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu
kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau
begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan
mereka berdua.
Itulah
kisah CINTA Ali dan Fatimah. Maka kita pun hakikatnya mempunyai kisah cinta
yang indah pula bila tuntunannya Allah. Cinta itu perjuangan, cinta itu
pengorbanan, cinta itu mempersilahkan, cinta itu keberanian.
Jadi
bilamana kita memang sudah terjatuh cinta kepada seseorang, maka labuhkanlah
dalam kehalalan, agar indah pada waktunya. Namun bilamana cinta kita kepada
seseorang belum mampu untuk di labuhkan dalam kehalalan, maka kata Rosul,
kekanglah dengan berpuasa agar tak lampau menjadi nafsu setan.
Jaga cinta agar indah dan berkah, dan ikatlah ia dengan kesuci Allah swt.